Kontroversi Prabowo: Rakyat Disuruh Efisiensi, Menteri Dikasih Mobil Mewah

Kamis, 10 April 2025 13:16 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Presiden Prabowo Subianto
Iklan

Presiden minta mobil mewah untuk menteri, tapi rakyat dipaksa ikut efisiensi. Kontradiksi kebijakan yang perkuat kesenjangan.

***

Presiden Prabowo baru enam bulan memimpin, namun kebijakannya sudah memantik kontradiksi yang sulit diabaikan. Di satu sisi, pada Januari 2024, ia menggaungkan Inpres Efisiensi Anggaran senilai Rp300 triliun, memangkas belanja negara termasuk biaya perjalanan dinas.  Di sisi lain, dalam acara sarasehan ekonomi di Jakarta kemarin, Presiden justru menyentil Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk segera mengalokasikan mobil dinas bagi 48 menteri dan 56 wakil menteri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 138 Tahun 2024, mobil untuk menteri harus sedan, MPV, atau SUV bermesin 3.500 cc atau mobil listrik berdaya 250 kW, dengan perkiraan harga minimal Rp800 juta per unit. Sementara wakil menteri berhak atas mobil senilai sekitar Rp600 juta. Jika diakumulasi, anggaran yang dibutuhkan untuk memenuhi permintaan ini bisa mencapai Rp70 miliar angka yang mungkin kecil dibandingkan total efisiensi, tetapi sarat makna politis.

Pertanyaannya: mengapa negara harus mengeluarkan dana besar untuk barang yang berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) sebagian besar menteri dan wakil menteri sudah memilikinya? Data menunjukkan hanya segelintir pejabat yang tidak mempunyai mobil sesuai (atau melebihi) spesifikasi Permenkeu.

Sebagian bahkan tercatat memiliki lebih dari satu kendaraan mewah. Alih-alih menjadi kebutuhan mendesak, permintaan ini justru menguatkan kesan bahwa "penghematan" hanya berlaku untuk rakyat dan sektor publik, sementara elit pemerintahan bebas menikmati fasilitas lebih.

Kontradiksi ini semakin nyata ketika melihat realitas fiskal Indonesia. Pemerintah disebut sedang gencar menerbitkan surat utang untuk menambal defisit APBN. Di saat yang sama, alokasi untuk subsidi kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial justru dipangkas dalam draft RAPBN 2025. Jika efisiensi benar-benar ditujukan untuk menyelamatkan keuangan negara, mengapa anggaran produktif untuk rakyat dikorbankan, sementara belanja fasilitas pejabat diutamakan?

Langkah Presiden ini juga mengabaikan akar masalah struktural. Persoalan mobil dinas sejatinya bukan sekadar teknis, melainkan cermin dari mentalitas birokrasi yang gemar mengkultuskan simbol status. Alih-alih menggunakan kendaraan dinas yang ada atau memanfaatkan aset yang sudah dimiliki pejabat, pemerintah memilih membeli baru, sebuah praktik yang memperpanjang rantai konsumerisme elite. Padahal, dalam situasi ekonomi dan politik yang gamang, langkah ini berisiko memperlebar jurang kepercayaan antara negara dan masyarakat.

Tak hanya itu, Inpres Efisiensi yang digaungkan Presiden terkesan sebagai kebijakan parsial. Pemotongan anggaran perjalanan dinas, yang mungkin menyulitkan aparat tingkat daerah dalam menjalankan tugas, dibarengi dengan pembiaran atas pemborosan di level tertinggi. Ini menunjukkan bahwa "efisiensi" hanya menjadi alat retorika, sementara kekuasaan tetap berjalan dalam logika yang sama: memelihara hak istimewa segelintir orang.

Jika Presiden serius dengan agenda penghematan, ia harus konsisten meninjau ulang kebijakan yang bersifat kontraproduktif. Mengapa tidak mengalihkan anggaran mobil dinas ke sektor yang lebih krusial, seperti penyediaan transportasi umum atau insentif energi terbarukan? Atau, memberlakukan aturan lebih ketat tentang penggunaan aset pribadi pejabat untuk dinas? Langkah-langkah semacam ini tidak hanya menghemat anggaran, tetapi juga membangun citra pemerintah yang egaliter.

Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Permintaan Presiden untuk membeli mobil dinas mewah, di tengah gencarnya penerbitan utang dan pemotongan subsidi, menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi Indonesia masih berputar di sekitar kepentingan elite. Rakyat dipaksa ikhtiar dengan anggaran yang dipangkas, sementara pejabat tinggi bebas menikmati fasilitas tanpa merasa perlu berkorban. Kontradiksi ini bukan hanya soal angka, melainkan cermin dari sistem yang gagal menempatkan kesejahteraan publik di atas hasrat kekuasaan.

Kemudian di akhir tulisan ini, pertanyaan terbesar bukanlah "mengapa mobil dinas menteri belum terbeli," melainkan "bagaimana negara ini bisa maju jika kebijakannya masih dikendalikan oleh paradigma boros dan tidak adil?" Efisiensi hanya akan bermakna jika berlaku untuk semua—tanpa kecuali.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Apriansyah Wijaya

Penulis

3 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Pilihan Editor

Lihat semua